Antara Tawakkal dan Usaha Mencari Rizki yang Halal – Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan usaha halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan tetap menekankan kewajiban utama untuk selalu bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam semua usaha yang mereka lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,
{فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah:10).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ}
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya)” (QS Ali ‘Imraan:159).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ”
“Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing (dari keduanya) memiliki kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan kepada Allah, serta janganlah (bersikap) lemah…”[1].
Makna Tawakkal yang Hakiki
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah (semata)”[2].
Tawakkal adalah termasuk amal yang agung dan kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam, bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakal kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
{رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا}
“(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung” (QS al-Muzzammil:9)[3].
Merealisasikan tawakkal yang hakiki adalah sebab utama turunnya pertolongan dari Allah Ta’ala bagi seorang hamba dengan Dia mencukupi semua keperluan dan urusannya. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq:2-3).
Artinya: Barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua) urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya[4].
Salah seorang ulama salaf berkata: “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut”. Kemudian ulama ini membaca ayat tersebut di atas[5].
Usaha yang Halal Tidak Bertentangan dengan Tawakkal
Di sisi lain, agama Islam sangat menganjurkan dan menekankan keutamaan berusaha mencari rezki yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebutkan keutamaan ini dalam sabda beliau r:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal)” [6].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh mencari usaha yang halal dan bahwa usaha mencari rezki yang paling utama adalah usaha yang dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri[7].
Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal, bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Ta’ala, yang ini justru menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah.
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan tawakal yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang halal, dalam sabda beliau,
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”[8].
Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta’ala (semata).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).
Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata: “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung”[9].
Imam Ibnu Rajab memaparkan hal ini secara lebih jelas dalam ucapannya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya merealisasikan tawakal tidaklah bertentangan dengan usaha untuk (melakukan) sebab yang dengannya Allah Ta’ala menakdirkan ketentuan-ketentuan (di alam semesta), dan (ini merupakan) ketetapan-Nya yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Karena Allah Ta’ala memerintahkan (kepada manusia) untuk melakukan sebab (usaha) sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertawakal (kepada-Nya), maka usaha untuk melakukan sebab (yang halal) dengan anggota badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya, sebagaimana bertawakal kepada-Nya dengan hati adalah (perwujudan) iman kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ}
“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu” (QS an-Nisaa’:71).
Dan firman-Nya,
{وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ}
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang” (QS al-Anfaal:60).
Juga firman-Nya,
{فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah:10) [10].
Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari[11]: “Barangsiapa yang mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekwensi) iman, dan barangsiapa yang mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”[12].
Tawakkal yang Termasuk Syirik dan yang Diperbolehkan
Dalam hal ini juga perlu diingatkan bahwa tawakkal adalah salah satu ibadah agung yang hanya boleh diperuntukkan bagi Allah Ta’ala semata, dan mamalingkannya kepada selain Allah Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik.
Oleh karena itu, dalam melakukan usaha hendaknya seorang muslim tidak tergantung dan bersandar hatinya kepada usaha/sebab tersebut, karena yang dapat memberikan manfaat, termasuk mendatangkan rezki, dan menolak bahaya adalah Allah Ta’ala semata, bukan usaha/sebab yang dilakukan manusia, bagaimanapun tekun dan sunguh-sungguhnya dia melakukan usaha tersebut. Maka usaha yang dilakukan manusia tidak akan mendatangkan hasil kecuali dengan izin Allah Ta’ala[13].
Dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa termasuk perbuatan syirik besar (syirik yang dapat menyebabkan pelakuknya keluar dari Islam) adalah jika seorang bertawakkal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada selain Allah Ta’ala dalam suatu perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali olah Allah Ta’ala semata.
Adapun jika seorang adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada makhluk dalam suatu perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk tersebut, seperti memberi atau mencegah gangguan, pengobatan dan sebagainya, maka ini termasuk syirik kecil (tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tapi merupakan dosa yang sangat besar), karena kuatnya ketergantungan hati pelakunya kepada selain Allah Ta’ala, dan juga karena perbuatan ini merupakan pengantar kepada syirik besar, na’uudzu bilahi min dzalik.
Sedangkan jika seorang melakukan usaha/sebab tanpa hatinya tergantung kepada sebab tersebut serta dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata, dan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, maka inilah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam[14].
Tawakkal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menumbuhkan dalam hati seorang mukmin perasaan ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[15].
Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita semua untuk mencapai kedudukan yang agung ini dan semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk memiliki sifat-sifat mulia dan terpuji dalam agama-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 19 Rabi’ul Tsani 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] HSR Muslim (no. 2664).
[2] Kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/497).
[3] Lihat kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 59).
[4] Kitab “Fathul Qadiir” (7/241).
[5] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/497).
[6] HR an-Nasa-i (no. 4452), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358) dan al-Hakim (no. 2295), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
[7] Lihat kitab “’Umdatul qaari” (11/185) dan “Faidhul Qadiir” (2/425).
[8] HR Ahmad (1/30), at-Tirmidzi (no. 2344), Ibnu Majah (no. 4164), Ibnu Hibban (no. 730) dan al-Hakim (no. 7894), dinyatakan shahih oleh, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani.
[9] Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/7-8).
[10] Kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/498).
[11] Beliau adalah ahli zuhud yang terkenal (wafat 283 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (13/330).
[12] Dinukil oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab “Hilyatul auliyaa’” (10/195).
[13] Lihat kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 58).
[14] Lihat “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 57-58) dan “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 375).
Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak dapat hidup sendiri. Antara seorang dengan yang lain tentu saling hajat-menghajatkan, butuh-membutuhkan dan dari situ timbul kesadaran untuk saling bantu-membantu dan tolong-menolong. Tidak mungkin seseorang dapat bertahan hidup sendirian tanpa bantuan pihak lain.
Tolong-menolong adalah termasuk persoalan-persoalan yang penting dilaksanakan oleh seluruh umat manusia secara bergantian. Sebab tidak mungkin seorang manusia itu akan dapat hidup sendiri-sendiri tanpa menggunakan cara pertukaran kepentingan dan kemanfaatan.
v Lafal Hadist yang pertama
الـمسلم اخو الـمسلم لا يظلمه ولا يسلمه ومن كان في حاجة اخيه كان الله في حاجته ومن
فرج عن مسلم كربة فرج الله عنه كربة من كربات يوم القيامة ومن ستر مسلما ستره الله يوم القيامة. (رواه البخاري عبد الله بن عمر).
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiaya dan tidak boleh menyerahkannya (kepada musuh). Barang siapa membantu keperluan saudaranya, Allah akan (membalas) membantu keperluannya. Barang siapa membebaskan seorang muslim dari kesusahan, Allah akan membebaskan satu kesusahan darinya dari beberapa kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib) nya pada hari kiamat. (H.R. al-Bukhari dari Abdullah Ibnu Umar No. 2262).”
v Kandungan Hadist
Hadist diatas menjelaskan bahwa seorang muslim satu dengan yang lain adalah saudara. Oleh karena itu, sesama muslim tidak boleh saling menzalimi. Bahkan, sesama muslim harus saling membantu.
Dalam hadist diatas ada beberapa janji Allah swt.
v Lafal Hadist Kedua
من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة، ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والآخرة، ومن ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه. (رواه مسلم عن ابي غيره)
“Barang siapa melapangkan seorang mukmin dari satu kesusahan dunia, Allah akan melapangkannya dari salah satu kesusahan di hari kiamat. Barang siapa meringankan penderitaan seseorang, Allah akan meringankan penderitaannya dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib) nya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba selama hamba itu mau menolong saudaranya. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah No. 4876.)
v Kandungan Hadist
Hadist ini masih bicara tentang bentuk-bentuk sikap hidup yang harus dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika sikap itu diterapkan dalam kehidupan, Allah swt.akan membalasnya dengan yang lebih baik.
a) Kesediaan melapangkan kesusahan seorang mukmin akan dibalas oleh Allah swt. dengan kelapangan dari kesusahan pada hari kiamat.
b) Meringankan beban penderitaan seseorang akan dibalas oleh Allah swt. dengan diringankannya di dunia dan akhirat.
c) Menjaga/menutupi aib saudaranya agar tidak diketahui banyak orang akan dibalas Allah swt. dengan ditutupi aibnya di dunia dan akhirat.
d) Kesediaan menolong sesama akan selalu diberikan pertolongan dari Allah swt.
(أنصر أخاك ظالما أو مظلوما) قيل : يا رسول الله، هذا نصرته مظلوما، فكيف أنصره إذا كان ظالما ؟ قال : (تحجزه وتمنعه من الظلم، فذاك نصره)
“Tolonglah saudaramu, baik yang dalam keadaan dzalim atau di dzalimi, ditanyakan : “Ya Rasalullah, aku akan menolong orang yang di dhalimi itu, lalu bagaimana aku akan menolongnya jika ia dalam keadaan berbuat dhalim? Beliau Rasulullah SAW menjawab : menghindar dan melarangnya dari kedhaliman, itulah bentuk pertolongan baginya”
A. Hadist Tentang Mencintai Anak Yatim
Anak yatim adalah anak yang ditinggal wafat oleh ayah kandungnya sebelum ia baligh. Islam memberikan perhatian terhadap mereka secara khusus, Mengapa? Karena hal tersebut diperlukan agar kelangsungan hidupnya tetap terjaga dan mereka menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, bahkan dengan orang lain. Maka dari itu Rasulullah saw. selalu memotivasi umat Islam untuk senantiasa mencintai anak yatim.
v Lafal Hadist yang pertama
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم 🙁 أنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما ) رواه البخاري
“Aku dan orang-orang yang memelihara anak yatim di surga seperti ini. Beliau menunjukkan telunjuk dan jari tengah serta beliau merengangkan antara keduanya”. (HR Al-Bukhari dan Sa’ad No. 4892).
v Kandungan Hadist
Hadits pertama memberikan motivasi kepada kita untuk mau peduli terhadap anak yatim. Orang yang mau peduli terhadap anak yatim dengan cara memeliharanya akan memperoleh kedudukan yang tinggi, yaitu berada disurga bersama Nabi Muhammad SAW layaknya telunjuk dan jari tengah.
v Lafal Hadist Kedua
حدثّنا عبد الله بن عثمان قال : أخبرنا عبد الله قال : أخبرنا سعيد بن أبي أيوب، عن يحي بن أبى سليمان عن أبى عتاب، عن أبى هريرة قال : رسول الله صلعم : “خير بيت في المسلمين بيت فيه يتيم يحسن إليه وشرّ بيت في المسلم فيه يتيم يساء إليه
“Sebaik-baik rumah orang Islam adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim dan diasuh dengan baik. Seburuk-buruk rumah orang Islam adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang diperlakukan dengan jahat”. (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah No. 3669)
v Kandungan Hadist
Hadist kedua menjelaskan bahwa rumah yang paling mulia dalam pandangan Nabi Muhammad SAW adalah rumah yang terdapat anak yatim di dalamnya. Dengan syarat, anak yatim itu dipelihara dengan baik. Jika anak yatim itu disia-siakan, rumah itu menjadi rumah yang paling buruk, artinya rumah itu akan jauh dari keberkahan.
3. Keterkaitan Kandungan Hadits Tentang Tolong Menolong dan Mencantai Anak Yatim dalam Kehidupan.
a. tolong-menolong dan mencintai anak yatim memiliki nilai ibadah yang berdimensi sosial
b. tolong menolong dan mencantai anak yatim merupakan bentuk kepedulian terhadap sesama yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. tolong menolong dan mencantai anak yatim merupakan bukti pelaksanaan terhadap ajaran Islam bagi seorang muslim. Seorang muslim yang mengabaikan kedua urusan tersebut dikategorikan sebagai pendusta agama.
d. tolong-menolong dan mencantai anak yatim memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik
e. sikap suka menolonbg dan memedulikan nasib anak yatim merupakan dakwah bil-halsehingga akan menarik simpati yang masih lemah imannya.
f. kedua sikap tersebut merupakan penanaman akhlak yang terpuji dan harus diwariskan kepada semua generasi muslim.
4. Dampak Positif Sikap Hidup Tolong Menolong dan Mencantai Anak Yatim dalam Mencintai Kehidupan.
Berikut ini dampak positif hidup tolong menolong dan mencintai anak yatim
a. Islam dapat dirasakan sebagai Rahmatan Lil Alamin
b. hubungan persaudaraan manusia dapat terjalin dengan kuat
c. ada kehidupan hidup bersama dalam suatu masyarakat
d. kemiskinan, kesulitan, dan kesengsaraan dapat dihilangkan.
e. jurang pemisah anatara simiskin dan sikaya serta rakyat dan pejabat akan terkikis
f. persatuan, dan kesatuan hidup bersama dalam masyarakat akan selalu terjaga dengan baik
g. keberkahan Allah SWT akan selalu dirasakan dalam kehidupan.
5. Penerapan Sikap Tolong Menolong dan Mencintai Anak Yatim dalam Kehidupan
Perilaku yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain :
a. ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan bersama, misalnya mendirikan rumah dan memberikan orang yang sedang kesusahan
b. berusaha meringankan beban sesama manusia misalnya menengok orang sakit.
c. bersikap santun dan sayang kepada anak yatim. Misalnya menghibur dan membesarkan hatinya
d. ikut berpartisipasi dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial, misalnya panti asuhan anak yatim
e. mengasuh dan mendidik anak-anak yatim agar tidak terlantar hidupnya
Peradaban Islam dalam ilmu teknologi sangat berbeda dengan Romawi, Yunani dan Byzantium dalam memandang perkembangan teknologi. Para cendekiawan Muslim pada era kekhalifahan menganggap teknologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang nyata dan sah. Fakta ini terungkap berdasarkan pengamatan oleh sejarawan sains Barat di era modern terhadap sejarah sains pada Abad Pertengahan.Dalam hal ini pula ajaran Islam tidak akan bertentangan dengan teori pemikiran modern yang teratur dan lurus serta analisa yang teliti dan objekitf. Dalam pandangan Islam dan menurut hukum asalnya, segala sesuatu itu adalah mubah termasuk semua dari apa yang disajikan oleh berbagai peradaban baik yang lama ataupun yang baru. Semua itu sebagaimana diajarkan oleh Islam dan tidak ada yang hukumnya haram kecuali jika terdapat nash atau dalil yang tegas dan pasti mengherankan.
Kemajuan teknologi di era modern yang begitu pesat telah menciptakan produk-produk berteknologi canggih seperti televisi, radio, internet, alat-alat komunikasi, pesawat, mobil dan barang-barang mewah lainnya yang menawarkan hiburan bagi tiap orang, baik untuk orang tua ataupun muda, bahkan untuk anak-anak. Tapi tentunya alat-alat tersebut tidak bertanggung jawab atas apa yang telah diakibatkannya. Malahan di atas pundak manusianya lah terletak semua tanggung jawab itu. Sebab adanya berbagai media informasi dan alat-alat canggih yang dimiliki memiliki fungsi negatif dan positif, tergantung faktor manusianya yang menentukan operasionalnya. Adakalanya dapat bermanfaat yaitu ketika manusia menggunakan dengan baik dan tepat. Tetapi dapat pula mendatangkan dosa apabila menggunakannya untuk mengumbar hawa nafsu dan kesenangan semata bahkan yang berbau negatif.
Kemajuan teknologi di era modern yang begitu pesat telah menciptakan produk-produk berteknologi canggih seperti televisi, radio, internet, alat-alat komunikasi, pesawat, mobil dan barang-barang mewah lainnya yang menawarkan hiburan bagi tiap orang, baik untuk orang tua ataupun muda, bahkan untuk anak-anak. Tapi tentunya alat-alat tersebut tidak bertanggung jawab atas apa yang telah diakibatkannya. Malahan di atas pundak manusianya lah terletak semua tanggung jawab itu. Sebab adanya berbagai media informasi dan alat-alat canggih yang dimiliki memiliki fungsi negatif dan positif, tergantung faktor manusianya yang menentukan operasionalnya. Adakalanya dapat bermanfaat yaitu ketika manusia menggunakan dengan baik dan tepat. Tetapi dapat pula mendatangkan dosa apabila menggunakannya untuk mengumbar hawa nafsu dan kesenangan semata bahkan yang berbau negatif.
Hadits di atas menunjukkan kebolehan mengenai teknologi, karena pada saat itu Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seorang umat tentang pertanian, namun Rasulullah tidak memberikan jawaban yang benar karena Rasulullah kurang ahli dalam pertanian.
Maka dari itu, teknologi merupakan madaniyah‘am yang artinya benda yang tidak ada sangkut pautnya dengan hadlarah. Sebagaimana Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Islammenyebutkan yang menyebutkan bahwa “Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang menjadi produk kemajuan sains dan perkembangan teknologi/industri tergolong madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia”. Madaniyah itu sendiri artinya sesuatu yang berbentuk fisik berupa benda-benda yang terlihat dan digunakan dalam kehidupan yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan manusia.Dengan demikian jelaslah sudah bahwa produk dari teknologi dalam pandangan Islam dibolehkan atau mubah. Tapi ingat kalau ada madaniyah yang bersifat khas seperti patung, salib, bintang david, dll yang merupakan hasil dari hadlarah selain Islam, maka menggunakannya hukumnya adalah haram.
Jangan tertarik kepada seseorang karena parasnya, sebab keelokan paras dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik kepada kekayaannya, karena kekayaan dapat musnah. Tertariklah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum, karena hanya senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah. Semoga kamu menemukan orang seperti itu.
Ada saat-saat dalam hidup ketika kamu sangat merindukan seseorang, sehingga ingin hati menjemputnya dari alam mimpi dan memeluknya dalam alam nyata. Semoga kamu memimpikan orang seperti itu.
Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.
Pandanglah segala sesuatu dari kacamata orang lain. Apabila hal itu menyakitkan hatimu, sangat mungkin hal itu menyakitkan hati orang itu pula.
Kata-kata yang diucapkan sembarangan dapat menyulut perselisihan. Kata-kata yang kejam dapat menghancurkan suatu kehidupan. Kata-kata yang diucapkan pada tempatnya dapat meredakan ketegangan. Kata-kata yang penuh cinta dapat menyembuhkan dan memberkahi.
Awal dari cinta adalah membiarkan orang yang kita cinta menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dia.
Dengan keyakinan kita dpt memindahkan gunung, tapi tanpa persiapan kita dpt tersandung oleh kerikil.
Kerugian terbesar bukanlah saat mengalami kebangkrutan, melainkan saat Kita gagal belajar dari kebangkrutan tsb.
Jangan berlomba utk menemukan kesalahan org lain, tapi berlombalah utk menghindari kesalahan yg sama.
Orang2 yg gagal menciptakan sejarah besar adl orang2 yg meremehkan hal2 kecil.
Belajar memang Melelahkan, namun akan lebih Melelahkan lagi bila saat ini Kamu tidak Belajar
Impian tidak akan menggerakan seseorang utk maju, alasan kuat dibalik impian itulah yg menggerakannya.
Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati, cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat, kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi, pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagia dan uang yang cukup untuk membeli hadiah-hadiah.
Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi acapkali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.
Sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk berayun-ayun di beranda bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan kemudian kamu meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap-cakap lama dengannya.
Sungguh benar bahwa kita tidak tahu apa yang kita milik sampai kita kehilangannya, tetapi sungguh benar pula bahwa kita tidak tahu apa yang belum pernah kita miliki sampai kita mendapatkannya.
Kerja adalah rasa cinta yang terlihat. (Kahlil Gibran)
Hendaknya keindahan sesuatu yang Anda cintai adalah sesuatu yang Anda kerjakan. (Rumi)
Hidup adalah kesempatan untuk menyumbangkan cinta dengan cara kita sendiri. (Bernie Siegel, M.D.)
Ukuran tubuhmu kurang penting, ukuran otakmu agak penting, ukuran hatimu adalah yang paling penting. (B.C. Gorbes)
Cara yang nyata untuk membedakan Anda dari saingan Anda adalah layanan yang Anda berikan. (Jonathan Tisch)
Lakukanlah dengan mengesankan, lakukanlah dengan benar dan lakukanlah dengan gaya. (Fred Astaire)
Barang siapa menebar benih kebaikan, akan menikmati panen abadi. (Anonim)
Hanya mereka yang berani mengambil resiko untuk melangkah lebih jauhlah yang akan mengetahui sejauh mana dia dapat melangkah. (T.S. Eliot)
Saya hanyalah seorang manusia, tetapi saya adalah seseorang. Saya tidak dapat melakukan segalanya, tetapi saya dapat melakukan sesuatu. Saya tidak akan menolak melakukan sesuatu yang dapat saya lakukan. (Helen Keller)
Ingatlah selalu bahwa tekad Anda untuk sukses lebih penting daripada yang lainnya. (Abraham Lincoln)
Manakala kita mencintai dan tertawa bersama pasien kita, kita meningkatkan derajat tertinggi penyembuhan, yakni kedamaian didalam hati. (Leslie Gibson)
Sudah menjadi kewajiban kita untuk maju terus seakan-akan batas kemampuan kita tidak ada. (Pierre Teilhard de Chardin)
Tak ada sesuatu pun yang pernah berhasil dengan baik jika pelaksanaanya tidak dibantu oleh semangat yang kuat. (Nietzsche)
Tak seorang pun dapat memahami hati manusia kecuali jika dia memiliki simpati yang dibangkitkan oleh cinta. (Henry Ward Beecher)
Seandainya saya dapat meringankan rasa sakit, atau meredakan rasa nyeri seseorang, atau menolong seekor burung murai yang kebingungan kembali ke sarangnya lagi, hidup saya tak akan sia-sia. (Emily Dickinson)
Kekuatan cinta dan perhatian dapat mengubah dunia. (James Autry)
Cinta menyembuhkan manusia, baik yang memberikannya maupun yang menerimanya. (Dr. Karl Menninger)
Sisihkanlah waktu untuk mengagumi keajaiban hidup. (Gary W. Fenhuk)
Kita cenderung menilai kesuksesan dari jumlah penghasilan kita atau ukuran mobil-mobil kita, bukan dari kualitas layanan dan hubungan kita dengan sesame manusia. (Martin Luther King Jr)
Memahami lebih baik dari sekadar membaca.
Banyak yang ingin pintar, tapi tidak banyak yang mau belajar.
Kalau pelajar tak mau belajar, belum menjadi pelajar sejati.
Tidak ada mata pelajaran yang sulit, kecuali kemalasan akan mempelajari mata pelajaran tersebut.
Orang tua kerja untuk menghidupi anaknya, anaknya sekolah agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak di kemudian hari. Dengan belajar dan mendapatkan nilai baik adalah cara jitu pelajar untuk membahagiakan orang tuanya.
Malas belajar hanya akan membuat suatu pelajaran semakin sulit dipelajari.
Lebih baik belajar satu halaman per hari daripada belajar satu buku tapi cuma sehari.
Bodoh itu takdir, tapi bisa diubah. Tentunya dengan belajar.
Belajar adalah investasi berharga untuk masa depan dan tidak seperti harta yang suatu saat bisa habis.
Bagi yang tahu bahwa belajar itu menyenangkan, belajar adalah aktivitas yang menyenangkan.
Dengan belajar sesungguhnya kita telah membuka satu pintu menuju kesuksessan
Aku datang, aku belajar, aku ujian, aku revisi dan aku menang!
Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.
Kuolah kata, kubaca makna, kuikat dalam alinea, kubingkai dalam bab sejumlah lima, jadilah mahakarya, gelar sarjana kuterima, orangtua,calon istri/suami dan calon mertua pun bahagia
Tujuan sekolah bukan hanya sekadar mendapatkan ijazah. Ilmu yang terpenting yang harus didapat. Percuma dapat ijazah tapi sedikit ilmu yang didapat dari sekolah.
Belajar butuh kesabaran. Hilangkan rasa ingin cepat-cepat menguasai materi. Belajar butuh proses.
Demikian kumpulan kata motivasi kali ini, semoga bisa memberikan semangat hidup kepada pembaca.
Sarana Untuk Membersihkan Harta dan Menyucikan Hati
Perhatikanlah Firman Allah subhanahu wata’ala artinya,
“Ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan shadaqah (zakat) itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Membersihkan mereka” adalah membersihkan mereka dari dosa-dosa dan sifat bakhil. Sedangkan “menyucikan mereka” yaitu mengangkat derajat mereka kepada derajat mukmin dan mukhlis. (Riyadhush Shalihin)
Merupakan Karakter Orang yang Bertaqwa dan Orang yang Ihsan (Muhsin)
Perhatikanlah Firman Allah subhanahu wata’ala artinya,
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan(muhsin).”(QS.AliImron:133-134)
Shadaqah Sarana Penghapus dan Pelebur Dosa
Shadaqah Sarana untuk Mening-gikan Derajat
Merupakan Ciri Khas Seorang Mukmin
Perhatikanlah Firman Allah subhanahu wata’ala artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfaal: 2-4)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shodaqoh adalah bukti.” (HR Muslim). Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Shadaqah Adalah Bukti” Artinya adalah bukti dari kejujuran iman dan keikhlasan seseorang dengan bershadaqah.
Shadaqah Berarti Memberikan Pinjaman kepada Allah, Maka Pinjaman tersebut Pasti Allah Kembalikan dengan Berbagai Macam Cara
Perhatikanlah firman Allah subhanahu wata’ala artinya,
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (yaitu menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) serta kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Silahkan periksa juga firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al-Hadiid: 18 dan surat At-Taghaabun: 17.
Shadaqah termasuk Berjihad dengan Harta
Perhatikanlah Firman Allah subhanahu wata’ala artinya,
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (QS. At-Taubah: 20)
Shadaqah Mendatangkan Keberuntungan dan Kemudahan di Dunia dan di Akhirat
Perhatikanlah Firman Allah subhanahu wata’ala artinya,
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah; serta nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun: 16)
Firman Allah subhanahu wata’ala dalam ayat yang lain, artinya,
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 5-8)
Orang yang Bershadaqah Mendapat Naungan Allah subhanahu wata’ala Pada Hari Kiamat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hal itu sebagaimana terdapat dalam hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.” Beliau menyebutkan salah satunya adalah seorang yang bershadaqah secara diam-diam (sembunyi), sehingga apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya tidak diketahui oleh tangan kirinya. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Shadaqah Itu Sendiri Juga Akan Menaungi Seseorang di Hari Kiamat
Yazid Bin Abi Habib menceritakan bahwa Abu Khair bercerita: bahwa sesungguhnya dia pernah mendengar Uqbah Bin Amir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap orang akan berada di bawah naungan shadaqahnya (pada hari Kiamat), sehingga diputuskan perkara terhadap manusia atau ditegakkan hukum di antara manusia.”
Yazid berkata, “Abu Khair setiap kali dia berbuat kekhilafan, maka dia akan bershadaqah (untuk menutupi kesalahannya tersebut) meskipun hanya dengan sepotong kue atau sebutir bawang atau yang lainnya.” (Ahmad: 16695, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani)
Shadaqah Menjadi Penghalang dan Penghijab Seseorang dari Neraka
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ke tanah lapang pada hari Raya Qurban atau Fitri, kemudian selesai melaksanakan sholat beliau khutbah, di dalam nasehatnya kepada manusia, beliau memerintah-kan mereka untuk bershadaqah, seraya bersabda, “Wahai sekalian manusia bershadaqahlah kalian,” lalu beliau melewati kaum wanita, seraya bersabda, “Wahai kaum wanita bershadaqahlah kalian karena saya melihat kebanyakan penghuni neraka adalah dari kalian.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari ‘Adi Bin Hatim radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Takutlah kalian kepada api nereka walau hanya bershadaqah dengan setengah butir korma.” (HR. Al-Bukhori)
Memberikan Menu Berbuka kepada Seorang yang Berpuasa, Maka Mendapatkan Pahala Seperti Orang yang Berpuasa Tersebut
Hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Zaid Bin Khalid Al-Juhaimi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda, “Barangsiapa yang menyediakan menu untuk berbuka puasa bagi seorang yang puasa, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala yang diperoleh oleh orang berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu ‘Isa berkata, “Hadits ini hasan shahih)
Shadaqah yang Diiringi dengan Puasa, Perkataan Baik dan Shalat Malam akan Memuluskan Jalan Seseorang ke Surga
Tentang hal ini perhatikanlah hadits yang bersumber dari Nu’man Bin Sa’ad, beliau meriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga ada ruangan-ruangan yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar”, lalu seorang badui bertanya, “Untuk siapa ruangan-ruangan itu wahai Rasulullah?” Lalu beliau menjawab, “Untuk siapa saja yang berkata baik, memberi makanan, selalu berpuasa dan melakukan qiyamul lail (sholat malam) sedang orang-orang dalam keadaan tidur.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu ‘Isa berkata: hadits hasan gharib)
Shadaqah Mendatangkan Keberkahan karena Do’a Malaikat untuk Sang Dermawan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
“Tiada suatu hari yang dilewati oleh hamba-hamba Allah kecuali ada dua malaikat yang turun, salah satunya berdo’a, “Ya Allah berikanlah ganti kepada seorang yang dermawan”, dan yang satunya lagi berdo’a,” Ya Allah berikanlah kehancuran kepada orang yang kikir.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Harta Tidak Akan Berkurang karena Dishadaqahkan, Justru Allah Menyuburkannya
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Perhatikan juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shadaqah tiada akan mengurangi harta.” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Kuzaimah)
Shadaqah Dapat Meredam Murka Allah Sekaligus Menghantarkan Seseorang untuk Memperoleh Husnul Khatimah
Diriwayatkan dari Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda, “Sesungguhnya shadaqah itu dapat meredam murka (kemarahan) Rabb (Allah) dan shadaqah itu dapat menghindarkan seseorang dari kematian su’ul khotimah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Abu ‘Isa berkata: hadits ini hasan gharib.
Bershadaqah Walau Sekecil Apa pun, Nilainya Tetap Besar di sisi Allah
Dari Asma` radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Saya berkata (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam): “Ya Rasulullah! Saya tidak memiliki harta kecuali apa yang diberikan suamiku Zubair kepadaku, apakah saya juga bershadaqah?” Beliau menjawab, “Bersadaqahlah dan janganlah engkau terlalu memperhatikannya (memperhatikan kwantitasnya), sebab Allah tetap memberikan perhatian-Nya kepadamu.” (HR. Al-Bukhari dan Ibnu Hibban)
Allah subhanahu wata’ala Membebaskan Seseorang dari Kesulitan di hari Kiamat yang Membebaskan Orang yang Berhutang
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dahulu ada seorang laki-laki yang biasa memberikan hutang orang-orang, lalu dia berkata kepada pembantunya, “Jika engkau melihatnya kesulitan, maka bebaskanlah hutangnya, mudah-mudahan dengan hal itu Allah membebaskan kita (dari azab-Nya).” Beliau berkata, “Ketika dia meninggal dunia, maka Allah membebaskannya (dari azab-Nya).” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain)
Melapangkan Dada dan Menentramkan Hati.
Mengobati Penyakit Jasmani dan Rohani.
Meraih Sifat Qona’ah dan Tawadhdhu’.
Menyucikan Hati Pemberi Shadaqah dan Mendatangkan Rahmat Bagi Penerimanya
(Isnain Azhar, Lc)
Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).
Allah telah menciptakan alam dan isinya berpasang-pasangan, sehingga melahirkan hukum tarik menarik antara satu dengan yang lainnya. Artinya kondisi alam ini akan selalu dinamis sesuai dengan kehendak-Nya. Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia, akan mengalami rotasi (perputaran) antara di bawah-di atas; sukses-tidak sukses; bahagia-susah, dll. Begitu juga dengan iman kita. Iman bisa datang dan pergi, naik dan turun.
Ibnu Mas’ud mengatakan, Sesungguhnya jiwa manusia itu mempunyai saat dimana ia ingin beribadah dan ada saat dimana enggan beribadah. Diantara dua keadaan itulah manusia menjalani kehidupan ini. Dan diantara dua keadaan itu pula nasib manusia ditentukan.
Dalam arti lain, semakin seseorang berada dalam iman yang rendah, maka besar kemungkinan dalam kondisi ini akan mengakhiri hidupnya. Demikian sebaliknya, jika seseorang semakin sering berada pada kondisi iman yang tinggi, maka semakin besar peluangnya memperoleh akhir kehidupan yang baik. Pertanyaannya, bagaimana cara mewujudkan kondisi pribadi yang berujung kebaikan, pribadi yang pantang menyerah tersebut?
Pribadi pantang menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya. Ia yakin betul bahwa sekenario Allah itu tidak akan meleset sedikit pun.
Pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, tidak lain adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bersyukur apabila ia mendapat sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesuksesan, medapat rezeki, dll. Sebaliknya, jika ia mendapati sesuatu yang tidak diharapkannya, entah itu berupa kesedihan, kegagalan, mendapat bala bencana, dll., maka ia memiliki ketahanan untuk selalu bersabar. Dan pribadi seperti ini memposisikan setiap kejadian yang menimpanya adalah atas ijin dan kehendak Allah. Ia pasrah dan selalu berusaha untuk bangkit dengan cara mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut.
Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat.
Seseorang menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal, karena ia berbuat gagal. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang menyebutkan bahwa: “Orang mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih baik dari mukmin yang lemah. Jadi, manusia tangguh dam kuat itu, sudah seharusnya menjadi cita-cita kita dalam rangka mengabdi kepada Allah.”
Dalam konteks ini, dapat disebutkan bahwa kesuksesan menurut pandangan Alquran itu memiliki dua syarat pokok. Yakni iman dan ilmu (QS. 58: 11). Kedua hal ini, kalau kita kaji secara rinci, jelas-jelas memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia.
Dengan kuatnya iman seseorang, maka ia akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Menurut M. Ridwan IR Lubis (1985), ada tiga pengaruh iman tersebut, yaitu berupa: kekuatan berpikir (quwatul idraak), kekuatan fisik (quwatul jismi), dan kekuatan ruh (quwatur ruuh).
Sedangkan menurut M. Yunan Nasution (1976), mengungkapkan pengaruh iman terhadap kehidupan manusia itu berupa: iman akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda; menanamkan semangat berani menghadapi maut; membentuk ketentraman jiwa; dan membentuk kehidupan yang baik.
Untuk mencapai dampak dari kekuatan iman itu, kuncinya terletak pada pribadi kita masing-masing. Dan kalau kita cermati, sebenarnya pembentukan sifat pribadi pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikir orang tersebut.
Menyikapi keadaan seperti saat ini, kita seharusnya tidak menjadi pesimis dan berserah diri. Kita harus optimis dan selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidup ini. Sehingga untuk menjadikan pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, maka dalam diri kita harus tertanam sikap optimis, berpikir positif, dan percaya diri.
Setiap manusia harus memiliki optimisme dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sikap optimis, langkah kita akan tegar menghadapi setiap cobaan dan menatap masa depan penuh dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Karena garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan-Nya. Tugas kita adalah hanya berusaha, berpikir dan berdoa agar sesuai dengan ridho-Nya.
Setelah kita mampu bersikap optimis, lalu pola pikir kita juga harus dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Berpikir positif kepada siapa? Pertama, berpikir positif kepada Allah. Setiap kejadian, peristiwa dan fenomena kehidupan ini pasti ada sebab musababnya. Tugas kita, hanya berpikir dan membaca. Ada apa dibalik semua itu? Lalu, kita mengambil pelajaran dari kejadian itu dan selanjutnya mengamalkan yang baiknya dalam perilaku keseharian.
Kedua, berpikir positif terhadap diri sendiri. Setiap manusia, dilahirkan sebagai pribadi yang unik. Karena bagaimanapun wajah dan sifat kita mirip dengan orang lain. Tapi, yang jelas ada saja perbedaan antara keduanya.
Sifat dan pribadi unik itu, harus kita jaga. Itu adalah potensi positif, modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita menuju ridho-Nya. Bagaimana orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri meremehkan dan tidak “mengangkatnya”.
Selain itu, kita juga harus yakin bahwa kita dilahirkan ke dunia ini sebagai sang juara, the best. Fakta membuktikan, dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Bapak kita, tetapi ternyata yang mampu menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi, hanya satu. Itulah kita, “sang juara”. Hal ini, kalau kita sadari akan menjadi sebuah motivasi luar biasa dalam menjalani hidup ini.
Ketiga, berpikir positif pada orang lain. Orang lain itu, manusia biasa sama dengan kita. Dia mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Yang tentu hati nuraninya tidak menghendakinya. Pandanglah, orang lain itu dari sisi positifnya saja dan menerima sisi negatifnya sebagai pelajaran bagi kita.
Belajarlah dari seekor burung Garuda. Ia mengajarkan anaknya untuk terbang dari tempat yang tinggi dan menjatuhkannya. Lalu jatuh, diangkat lagi dan seterusnya sampai ia bisa terbang sendiri. Hati Garuda juga bersih, tidak mendendam. Ia kalau waktunya bermain “cakar-cakaran”. Tapi, kalau diluar itu ia akur, damai kembali.
Keempat, berpikir positif pada waktu. Setiap manusia diberi waktu yang sama, dimana pun dia berada. Sebanyak 24 jam sehari atau 86.400 detik sehari. Waktu itu, ingin kita apakan? Kita gunakan untuk tidur seharian, kerja keras, mengeluh, berdemontrasi, bergunjing, santai, menuntut ilmu, menolong orang lain, melamun, ibadah, dan lainnya. Waktu itu tidak akan protes.
Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggung jawabannya kelak, di hadapan Allah SWT. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan amal-amalan saleh dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Allah berfirman, yang artinya: “Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).
Untuk memaksimalkan sikap positif pada diri seseorang, lebih-lebih sebagai pembentuk pribadi yang pantang menyerah, tangguh, “tahan banting”, sabar dan istiqomah pada jalan-Nya. Tentu perlu dibagun pula dengan kebiasaan positif.
Semoga tulisan ini menjadi bahan penilaian terhadap diri kita sendiri, terutama kaitannya dengan keinginan pembentukan pribadi yang pantang menyerah. Dan kita berdoa, semoga Allah memberi kemampuan terhadap kita untuk membangun pribadi yang tangguh dan pantang menyerah sesuai tuntutan-Nya. Amin. Wallahu a’lam.
Al-Qur’an berbicara panjang lebar tentang perbuatan-perbuatan jahat yang membuat pelakunya pantas diberi ganjaran dengan azab neraka yang kekal. Di antara perbuatan-perbuatan yang dibenci Allah tersebut, yang paling hina adalah:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa orang-orang kafir dan musyrik apabila mereka telah dimasukkan ke dalam neraka akan diberitahu bahwa kebencian Allah terhadap mereka lebih besar daripada kebencian mereka terhadap diri sendiri, karena mereka tidak beriman. Kemudian Allah menerangkan bahwa nasib yang mereka alami di neraka secara kekal adalah akibat dari kekafiran dan kemusyrikan mereka sendiri.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir diserukan kepada mereka (pada hari kiamat), “Sesungguhnya kebencian Allah (kepadamu) lebih besar daripada kebencianmu kepada dirimu sendiri, karena kamu diseru untuk beriman, tetapi kamu kafir.” Mereka menjawab, “Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar dari neraka?” (Siksa) yang demikian itu disebabkan karena (sewaktu di dunia) tatkala Allah diseru (disebut), kamu mengafiri-Nya; dan apabila Allah disekutukan, kamu percaya. Maka segala ketetapan (pada hari ini) hanyalah di tangan Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Besar.” (Qs. Al-Mu’min[40]: 10-12)
Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan kepada kita bahwa para penjaga neraka akan bertanya kepada orang-orang kafir ketika mereka akan masuk neraka: “Apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas?” (Qs. Al-Mu’min[40]: 50)
Jawaban mereka adalah bahwa mereka berhak menerima azab neraka karena mereka kafir terhadap rasul-rasul dan pesan-pesan mereka: “Mereka menjawab, ‘Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami katakan, “Allah tidak menurunkan sesuatu apapun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.” (Qs. Al-Mulk[67]: 9)
Mengenai orang-orang yang tidak percaya kepada Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami sampaikan suatu peringatan (Al-Qur’an) kepadamu dari sisi Kami. Siapa yang berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai bahan bagi mereka di hari kiamat.” (Qs. Thaha[20]: 99-101)
Mengenai orang-orang yang menyangkal atau mendustakan kebenaran Al-Qur’an dan orang-orang yang meneykutukan Allah subhanahu wa ta’ala, telah difirmankan oleh Allah:
“Orang-orang yang mendustakan Alkitab (Al-Qur’an) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul yang telah Kami utus, kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar di dalam api, kemudian dikatakan kepada mereka, “Manakah berhala-berhala yang selalu kamu persekutukan (yang kamu sembah) selain Allah?” Mereka menjawab “Mereka telah hilang lenyap dari kami, bahkan kami dahulu tidak pernah menyembah sesuatu.” Begitulah Allah menyesatkan orang-orang kafir. Yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan). (Dikatakan kepada mereka,) “Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka jahanam, dan kamu kekal di dalamnya.” Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong.” (Qs. Al-Mu’min[40]: 70-76)
Mengenai orang-orang kafir dan musyrik yang menganggap berhala-berhala sembahan mereka sama dengan Allah Penguasa semesta alam, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, dan semua bala tentara iblis. Mereka berkata ketika mereka bertengkar di dalam neraka, ‘Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.” (Qs. Asy-Syu’ara[26]: 94-98)
Mengenai nasib orang-orang kafir pada hari kiamat, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Bahkan mereka mendustakan hari kiamat. Dan kami menyediakan neraka yang menyala-nyala bagi siapa yang mendustakan hari kiamat.” (Qs. Al-Furqan[25]: 11)
“Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, maka yang patut mengherankan adalah ucapan mereka, “Apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami sungguh akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?” Orang-orang itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang itulah (yang diikatkan) belenggu di leher mereka. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Ar-Ra’d[13]: 5)
“Tempat kediaman mereka adalah neraka jahanam. Tiap-tiap kali nyala api jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. Itulah balasan bagi mereka, karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan berkata, “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?” (Qs. Al-Isra’[17]: 97-98)
Dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala disebutkan bahwa penghuni surga bertanya kepada para penghuni neraka, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka).” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, kami tidak (pula) memberi makan orang-orang miskin, kami membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian.”(Qs. Al-Muddatstsir[74]: 43-47)
“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka, dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka, dari jin dan manusia; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi. Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” Maka sesungguhnya Kami akan membuat orang-orang kafir merasakan siksaan yang sangat keras, dan Kami akan memberikan pembalasan kepada mereka dengan pembalasan yang terburuk dari apa yang mereka kerjakan. Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, yaitu neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai pembalasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami.” (Qs. Fushshilat[41]: 25-28)
Setelah orang-orang kafir itu dilemparkan ke neraka, mereka tidak henti-hentinya menyatakan penyesalan karena telah melanggar perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, dan hanya mengikuti para pemimpin mereka:
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong. Pada hari ketika wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.” (Qs. Al-Ahzab[33]: 64-67)
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjanjikan neraka untuk orang-orang munafik, janji yang tidak akan pernah dipungkiri-Nya: “Allah mengancam orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, dan orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka. Dan Allah melaknati mereka; dan bagi mereka azab yang kekal.” (Qs. At-Taubah[9]: 68)
Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa tempat orang-orang munafik itu adalah di tingkatan paling bawah di neraka dimana siksaannya paling pedih: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seroang penolong pun bagi mereka.” (Qs. An-Nisa’[4]: 145)
Sifat sombong, congkak, atau arogan adalah sifat yang dimiliki oleh sebagian besar penduduk neraka. Firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadap-Nya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-A’raf[7]: 36)
Muslim menyediakan satu bab khusus dalam kumpulan hadits-hadits sahihnya untuk mengupas masalah ini, dengan judul “an-Nar Yadkhuluha al-Jabbarun wa al-Jannah Yadkhuluha adh-Dhu’afa (neraka dimasuki oleh orang-orang yang sombong dan surga dimasuki oleh orang-orang yang lemah). Dalam bab ini ia merujuk kepada protes surga dan neraka, apa yang surga dan neraka katakan dan apa yang difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala kepada keduanya. Muslim mengutip hadits Abu Hurairah dari Rasululah shalallahu ‘alaihi wassalam yang menyebutkan bahwa neraka berkata, “Orang-orang yang sombong dan congkak akan memasuki saya.” Menurut sebuah riwayat yang lain, neraka mengatkaan, “Saya menjadi kaya (memiliki terlalu banyak) akan orang-orang yang sombong.” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Engkau adalah tempat Aku menghukum siapa saja yang Aku kehendaki.” [1]
Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi meriwayatkan dari Haritsah ibn Wahab bahwa Rasulullah bersabda, “Tidakkah pernah kukatakan kepadamu tentang para penghuni surga? Setiap orang yang sabar dan merendahkan diri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala akan dipenuhi permintaannya oleh Allah. Tidakkah pernah kekuatakan keapdamu tentang penghuni neraka? Setiap orang yang congkak, rakus, dan sombong.” [2] Menurut sebuah riwayat yang berasal dari Muslim, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Setiap orang yang sombong, licik, dan congkak.” [3]
Keterangan ini dibenarkan oleh Al-Qur’an:
“Bukankah dalam neraka jahanam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?”(Qs. Az-Zumar[39]: 60)
“Maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.” (Qs. Al-Ahqaf[46]: 20)
“Adapun orang-orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (Qs. An-Nazi’at[79]: 37-39)
Referensi: Al-Asyqar, 'Umar Sulaiman (2001). Surga dan Neraka. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs Ali Imran [3]:139)
Ayat ini turun setelah umat Islam mengalami kekalahan dari kaum kafir Quraisy pada perang Uhud. Kaum muslimin saat itu merasa terpukul. Di antara mereka ada yang merasa bersalah, rendah diri, bersedih dan kemudian tidak percaya diri untuk bisa menjadi pemenang kembali di pertempuran berikutnya. Allah kemudian menghibur dan memberi semangat kepada umat Islam dengan menurunkan ayat ini. Kata Allah pada ayat berikutnya, “Jika kamu mendapat luka, mereka juga luka. Dan jika mereka menang, pada perang Badar kamu pun sebagai pemenang. Dan itulah cara Allah menunjukkan kepada umat Islam dan manusia bahwa kemenangan dan kekalahan itu akan dipergilirkan di antara manusia.”
Itulah ketidakpercayaan diri gaya masa lalu sejarah Islam. Dalam konteks kekinian, fenomena ketidakpercayaan diri umat Islam itu sesungguhnya mulai tampak –meski kadang tidak disadari. Tandanya, sebagai seorang mukmin seakan sudah tidak lagi percaya diri dengan keimanan dan sudah tidak lagi peduli dan cenderung meninggalkan ibadahnya. Bahkan, tidak pernah malu saat mengambil prosesi ritual yang dilaksanakan umat agama lain. Umat Islam juga cenderung meniru perilaku dan ritual orang-orang non-muslim yang dibungkus dengan statemen budaya, modernitas, “biar gaul” atau mengikuti perkembangan zaman.
Ketidakpercayaan diri itu muncul misalnya saat Hari Natal. Atas dasar toleransi dan menghargai teman, tidak sedikit umat Islam ikut-ikutan Natalan atau setidaknya memberi ucapan selamat Natal. Di tahun baru Masehi umat Islam ikut meniup terompet layaknya orang Yahudi; menyalakan kembang api layaknya orang Majusi saat hendak beribadah; ikut menabuh genderang dan bunyikan lonceng layaknya orang Nasrani hendak melakukan kebaktian. Bukan hanya itu, pada Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha dan peringatan Maulid Nabi juga dianggap tidak ramai jika tidak ada perayaan kembang api.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketidakpercayaan diri itu sering muncul karena dorongan hal-hal yang bersifat duniawi. Tidak menjadi “orang” kalau tidak punya mobil. Malu karena tidak sama dengan yang dimiliki tetangganya. Merasa minder karena tidak punya jabatan yang bisa dibanggakan. Dan, anak-anak kita pun tidak pernah percaya diri di hadapan teman-temannya jika tidak bersepeda motor bagus dan ber-handphone mahal. Menariknya, para muslimah banyak yang tidak percaya diri ke undangan resepsi pernikahan jika tidak berhijab –meskipun jika keluar rumah masih sering lupa dengan hijabnya itu.
Dalam konteks yang demikian, kita bisa bandingkan keadaan kita ini dengan kondisi pada masa Jahiliyah. Dulu, orang-orang kafir Quraisy merasa percaya diri karena memegang jabatan tertentu, seperti pemegang kunci Ka’bah, penjaga air Zamzam, penjaga patung-patung di Ka’bah. Mereka menjadi percaya diri karena silsilah keturunan dengan beragam sukunya. Mereka juga percaya diri karena kekayaan yang dimiliki.
Tetapi, setelah Rasulullah menyampaikan risalah tauhid, semua berbalik 180 derajat. Kemuliaan dan derajat seseorang sudah tidak lagi didasarkan pada kekayaan, keturunan dan jabatannya. Tetapi, kemuliaan, ketinggian dan derajat seseorang lebih ditentukan oleh keimanan dan ketakwaannya. Para sahabat yang digembleng oleh Rasulullah merasa yakin dengan keimanan mereka. Mereka percaya diri dengan jaminan Allah di dunia dan akhirat. Saat perintah hijrah turun, mereka tinggalkan harta benda yang dimiliki untuk membangun peradaban baru di Madinah atas dasar iman. Di kemudian hari, generasi awal Islam bisa mengalahkan orang kafir Quraisy, Persia, Romawi, merebut kembali Palestina, menaklukkan Semenanjung Spanyol (Andalusia), bukan karena kaum muslimin saat itu banyak jumlahnya. Namun, lebih karena kepercayaan diri bahwa seorang mukmin itu lebih mulia. Semoga kita bisa meneladaninya. Amin.
[islamaktual/sm/bahrussururiyunk]
“Ilmu tanpa amal bagai pohon tak berbuah” (Pepatah Arab)
Mungkin pernah kita bertanya-tanya dalam pikiran kita: buat apa ilmu jika tidak diamalkan? Sedangkan untuk mencarinya kita harus bersusah payah, menghabiskan banyak waktu dan materi, menghabiskan banyak tenaga dan pikiran, bahkan sampai kita harus berpisah dengan orangtua, dan sebagainya?
Di sinilah ujian penuntut atau orang yang berilmu dan memahami ilmu. Kemuliaan ilmu pada seseorang, bukan karena dia memiliki atau mengetahui banyak ilmu yang diturunkan Allah SwT. Sekali lagi bukan. Kemuliaan ilmu seseorang hanya bagi mereka yang konsisten beramal sesuai dengan ilmu yang dipahami. Bagi pelanggar, justru dihinakan oleh ilmunya sendiri.
Untuk itulah pepatah Arab mengatakan bahwa, “Ilmu tanpa amal bagai pohon tak berbuah.” Artinya apa? Perumpamaan betapa tidak enak ketika menanam pohon yang diharap, ternyata tidak berbuah. Pohon yang kita sayangi dan cintai itu, sekedar memberi harapan, sedangkan buahnya nihil.
Ilmu dan amal ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisah satu sama lain. Syiakh Abdurrahman ibn Qasim ra mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan seperti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.”
Di dalam Hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama nyala api neraka.
Hal ini bukan berlaku bagi para ulama saja, akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama, maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian, atau khutbah Jum’at yang didalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram, maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari terlalu banyak contoh yang mewakili contoh pohon yang tidak menghasilkan buah. Ini dapat terjadi pada guru, pejabat, petani, nelayan, ulama, pedagang, dan siapa saja. Minimal, jika seseorang tidak melaksanakan ilmunya, jenis ilmu apapun yang semestinya mampu meninggikan derajat seseorang sebagaimana titah Allah SwT, maka ia mirip dengan pohon yang tidak berbuah.
Aduhai sungguh rugi dan rugi mempunyai pohon jenis ini. Selain itu, kehinaan dan caci makilah yang diraihnya. Itu karena ilmu yang maslahat pasti disetujui semua orang. Ketika seseorang melanggar ilmu, langsung terdeteksi oleh si pelanggarnya sendiri, pada tahap awal. Tahap selanjutnya pasti berimbas kepada orang lain. Seorang guru yang tidak mengamalkan ilmunya yang telah diterangkan kepada siswanya, pasti dalam jiwanya terdapat kesadaran pengkhianatan.
Demi menghindari pohon yang tak berbuah, maka seseorang harus tegak dengan ilmunya, tegak dengan kebenaran dan kejujuran yang menjadi ruh kehidupan. Jangan pernah membayangkan meraih prestasi yang memuliakan, jika kita sendiri melanggar ilmu-ilmu yang selama ini kita ketahui. Hanya orang yang mengamalkan ilmulah nanti akan diberi ilmu lain. Sebaliknya, pelanggar ilmu membuahkan kehinaan, cemoohan, dan caci maki. Oleh karena itu, semoga kita dilindungi Allah SwT dari sifat berkhianat dalam ilmu.
[islamaktual/sm/m.h.bashori]