Daily Archive9th September 2016

BySatria

5 Perbuatan Yang Tidak Disukai Allah

Al-Qur’an berbicara panjang lebar tentang perbuatan-perbuatan jahat yang membuat pelakunya pantas diberi ganjaran dengan azab neraka yang kekal. wpid-dsc01393Di antara perbuatan-perbuatan yang dibenci Allah tersebut, yang paling hina adalah:

1) Kekafiran dan kemusyrikan

nu-santet-itu-ada-mempercayainya-bukan-musyrik

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa orang-orang kafir dan musyrik apabila mereka telah dimasukkan ke dalam neraka akan diberitahu bahwa kebencian Allah terhadap mereka lebih besar daripada kebencian mereka terhadap diri sendiri, karena mereka tidak beriman. Kemudian Allah menerangkan bahwa nasib yang mereka alami di neraka secara kekal adalah akibat dari kekafiran dan kemusyrikan mereka sendiri.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir diserukan kepada mereka (pada hari kiamat), “Sesungguhnya kebencian Allah (kepadamu) lebih besar daripada kebencianmu kepada dirimu sendiri, karena kamu diseru untuk beriman, tetapi kamu kafir.” Mereka menjawab, “Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar dari neraka?” (Siksa) yang demikian itu disebabkan karena (sewaktu di dunia) tatkala Allah diseru (disebut), kamu mengafiri-Nya; dan apabila Allah disekutukan, kamu percaya. Maka segala ketetapan (pada hari ini) hanyalah di tangan Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Besar.” (Qs. Al-Mu’min[40]: 10-12)

Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan kepada kita bahwa para penjaga neraka akan bertanya kepada orang-orang kafir ketika mereka akan masuk neraka: “Apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas?” (Qs. Al-Mu’min[40]: 50)

Jawaban mereka adalah bahwa mereka berhak menerima azab neraka karena mereka kafir terhadap rasul-rasul dan pesan-pesan mereka: “Mereka menjawab, ‘Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami katakan, “Allah tidak menurunkan sesuatu apapun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.” (Qs. Al-Mulk[67]: 9)

Mengenai orang-orang yang tidak percaya kepada Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami sampaikan suatu peringatan (Al-Qur’an) kepadamu dari sisi Kami. Siapa yang berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai bahan bagi mereka di hari kiamat.(Qs. Thaha[20]: 99-101)

Mengenai orang-orang yang menyangkal atau mendustakan kebenaran Al-Qur’an dan orang-orang yang meneykutukan Allah subhanahu wa ta’ala, telah difirmankan oleh Allah:

“Orang-orang yang mendustakan Alkitab (Al-Qur’an) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul yang telah Kami utus, kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar di dalam api, kemudian dikatakan kepada mereka, “Manakah berhala-berhala yang selalu kamu persekutukan (yang kamu sembah) selain Allah?” Mereka menjawab “Mereka telah hilang lenyap dari kami, bahkan kami dahulu tidak pernah menyembah sesuatu.” Begitulah Allah menyesatkan orang-orang kafir. Yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan). (Dikatakan kepada mereka,) “Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka jahanam, dan kamu kekal di dalamnya.” Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong.” (Qs. Al-Mu’min[40]: 70-76)

Mengenai orang-orang kafir dan musyrik yang menganggap berhala-berhala sembahan mereka sama dengan Allah Penguasa semesta alam, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, dan semua bala tentara iblis. Mereka berkata ketika mereka bertengkar di dalam neraka, ‘Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.(Qs. Asy-Syu’ara[26]: 94-98)

Mengenai nasib orang-orang kafir pada hari kiamat, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Bahkan mereka mendustakan hari kiamat. Dan kami menyediakan neraka yang menyala-nyala bagi siapa yang mendustakan hari kiamat.” (Qs. Al-Furqan[25]: 11)

“Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, maka yang patut mengherankan adalah ucapan mereka, “Apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami sungguh akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?” Orang-orang itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang itulah (yang diikatkan) belenggu di leher mereka. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(Qs. Ar-Ra’d[13]: 5)

Tempat kediaman mereka adalah neraka jahanam. Tiap-tiap kali nyala api jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. Itulah balasan bagi mereka, karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan berkata, “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?” (Qs. Al-Isra’[17]: 97-98)

2) Tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah dan menyangkal hari kiamat.

e7330b488bb690f1f3a2eded14c13f62f

Dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala disebutkan bahwa penghuni surga bertanya kepada para penghuni neraka, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka).” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, kami tidak (pula) memberi makan orang-orang miskin, kami membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian.”(Qs. Al-Muddatstsir[74]: 43-47)

3) Mengikuti golongan orang-orang sesat dan menjalankan prinsip-prinsip yang menyesatkan orang 

beredar-aliran-sesat-amanah-keagungan-ilahi-di-depok
 

“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka, dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka, dari jin dan manusia; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi. Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” Maka sesungguhnya Kami akan membuat orang-orang kafir merasakan siksaan yang sangat keras, dan Kami akan memberikan pembalasan kepada mereka dengan pembalasan yang terburuk dari apa yang mereka kerjakan. Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, yaitu neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai pembalasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami.” (Qs. Fushshilat[41]: 25-28)

Setelah orang-orang kafir itu dilemparkan ke neraka, mereka tidak henti-hentinya menyatakan penyesalan karena telah melanggar perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, dan hanya mengikuti para pemimpin mereka:

Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong. Pada hari ketika wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.” (Qs. Al-Ahzab[33]: 64-67)

4) Kemunafikan

hypocrisy_s

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjanjikan neraka untuk orang-orang munafik, janji yang tidak akan pernah dipungkiri-Nya: “Allah mengancam orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, dan orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka. Dan Allah melaknati mereka; dan bagi mereka azab yang kekal.” (Qs. At-Taubah[9]: 68)

Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa tempat orang-orang munafik itu adalah di tingkatan paling bawah di neraka dimana siksaannya paling pedih: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seroang penolong pun bagi mereka.” (Qs. An-Nisa’[4]: 145)

5) Kesombongan

sombong-angkuh-ilustrasi_20160503_172440
Sifat sombong, congkak, atau arogan adalah sifat yang dimiliki oleh sebagian besar penduduk neraka. Firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadap-Nya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-A’raf[7]: 36)

Muslim menyediakan satu bab khusus dalam kumpulan hadits-hadits sahihnya untuk mengupas masalah ini, dengan judul “an-Nar Yadkhuluha al-Jabbarun wa al-Jannah Yadkhuluha adh-Dhu’afa (neraka dimasuki oleh orang-orang yang sombong dan surga dimasuki oleh orang-orang yang lemah). Dalam bab ini ia merujuk kepada protes surga dan neraka, apa yang surga dan neraka katakan dan apa yang difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala kepada keduanya. Muslim mengutip hadits Abu Hurairah dari Rasululah shalallahu ‘alaihi wassalam yang menyebutkan bahwa neraka berkata, “Orang-orang yang sombong dan congkak akan memasuki saya.” Menurut sebuah riwayat yang lain, neraka mengatkaan, “Saya menjadi kaya (memiliki terlalu banyak) akan orang-orang yang sombong.” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Engkau adalah tempat Aku menghukum siapa saja yang Aku kehendaki.” [1]

Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi meriwayatkan dari Haritsah ibn Wahab bahwa Rasulullah bersabda, “Tidakkah pernah kukatakan kepadamu tentang para penghuni surga? Setiap orang yang sabar dan merendahkan diri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala akan dipenuhi permintaannya oleh Allah. Tidakkah pernah kekuatakan keapdamu tentang penghuni neraka? Setiap orang yang congkak, rakus, dan sombong.” [2] Menurut sebuah riwayat yang berasal dari Muslim, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Setiap orang yang sombong, licik, dan congkak.” [3]

Keterangan ini dibenarkan oleh Al-Qur’an:

Bukankah dalam neraka jahanam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?”(Qs. Az-Zumar[39]: 60)

Maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.” (Qs. Al-Ahqaf[46]: 20)

“Adapun orang-orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (Qs. An-Nazi’at[79]: 37-39)

Referensi: Al-Asyqar, 'Umar Sulaiman (2001). Surga dan Neraka. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 

BySatria

Percaya Diri Karena Allah

 

3_139

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu­lah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs Ali Imran [3]:139)

Ayat ini turun setelah umat Islam mengalami kekalahan dari kaum kafir Quraisy pada perang Uhud. Kaum muslimin saat itu merasa terpukul. Di antara mereka ada yang merasa bersalah, rendah diri, bersedih dan kemudian tidak percaya diri untuk bisa menjadi pemenang kembali di pertempuran berikutnya. Allah kemudian menghibur dan memberi semangat kepada umat Islam dengan menurunkan ayat ini. Kata Allah pada ayat berikutnya, “Jika kamu mendapat luka, mereka juga luka. Dan jika mereka menang, pada perang Badar kamu pun sebagai pemenang. Dan itulah cara Allah menunjukkan kepada umat Islam dan manusia bahwa kemenangan dan kekalahan itu akan dipergilirkan di antara manusia.confident

Itulah ketidakpercayaan diri gaya masa lalu sejarah Islam. Dalam konteks kekinian, fenome­na ketidakpercayaan diri umat Islam itu sesungguhnya mulai tampak –meski kadang tidak disadari. Tandanya, sebagai seorang mukmin sea­kan sudah tidak lagi percaya diri de­ngan keimanan dan sudah tidak lagi peduli dan cenderung meninggalkan ibadahnya. Bahkan, tidak pernah malu saat mengambil prosesi ritual yang dilaksanakan umat agama lain. Umat Islam juga cenderung meniru perilaku dan ritual orang-orang non-muslim yang dibungkus dengan statemen budaya, modernitas, “biar gaul” atau mengikuti perkembangan zaman.

Ketidakpercayaan diri itu muncul misalnya saat Hari Natal. Atas dasar toleransi dan menghargai teman, tidak sedikit umat Islam ikut-ikutan Natalan atau setidaknya memberi uca­p­an selamat Natal. Di tahun baru Masehi umat Islam ikut meniup terompet layaknya orang Yahudi; menyalakan kembang api layaknya orang Majusi saat hendak beribadah; ikut menabuh genderang dan bunyikan lonceng layaknya orang Nasrani hendak melakukan kebaktian. Bukan hanya itu, pada Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha dan peringatan Maulid Nabi ju­ga dianggap tidak ramai jika tidak ada perayaan kembang api.

Dalam kehidupan sehari-hari, ketidakpercayaan diri itu sering muncul karena dorongan hal-hal yang bersifat duniawi. Tidak menjadi “orang” kalau tidak punya mobil. Malu karena tidak sama deng­an yang dimiliki tetangganya. Merasa minder karena tidak punya jabatan yang bi­sa dibanggakan. Dan, anak-anak kita pun tidak pernah percaya diri di hadapan teman-temannya jika tidak bersepeda motor bagus dan ber-handphone mahal. Mena­rik­nya, para muslimah banyak yang tidak percaya diri ke undangan resepsi pernikahan jika tidak berhijab –meskipun jika keluar rumah masih sering lupa dengan hijabnya itu.

Dalam konteks yang demikian, kita bisa bandingkan keadaan kita ini dengan kondisi pada masa Jahiliyah. Dulu, orang-orang kafir Quraisy merasa percaya diri karena memegang jabatan tertentu, seperti pemegang kunci Ka’bah, penjaga air Zamzam, penjaga patung-pa­tung di Ka’bah. Mereka menjadi percaya diri karena silsilah keturunan dengan beragam suku­nya. Mereka juga percaya diri karena kekayaan yang dimiliki.

 

Tetapi, setelah Rasulullah menyampaikan risalah tauhid, semua berbalik 180 dera­jat. Kemuliaan dan derajat seseorang sudah tidak lagi didasarkan pada kekayaan, keturunan dan jabatannya. Tetapi, kemuliaan, ketinggian dan derajat seseorang lebih ditentukan oleh ke­imanan dan ketakwaannya. Para sahabat yang digembleng oleh Rasulullah merasa yakin de­ng­an keimanan mereka. Mereka percaya diri dengan jaminan Allah di dunia dan akhirat. Saat perintah hijrah turun, mereka tinggalkan harta benda yang dimiliki untuk membangun peradaban baru di Madinah atas dasar iman. Di kemudian hari, generasi awal Islam bisa mengalahkan orang kafir Quraisy, Persia, Romawi, merebut kembali Palestina, menaklukkan Semenanjung Spanyol (Andalusia), bukan karena kaum muslimin saat itu banyak jumlahnya. Namun, lebih karena kepercayaan diri bahwa seorang mukmin itu lebih mulia. Semoga kita bisa meneladaninya. Amin.

[islamaktual/sm/bahrussururiyunk]

BySatria

Ilmu Tanpa Amal

72ilmu-manfaat-lumajang

 

Ilmu tanpa amal bagai pohon tak berbuah” (Pepatah Arab)

Mungkin pernah kita bertanya-tanya dalam pikiran kita: buat apa ilmu jika tidak diamalkan? Sedangkan untuk mencarinya kita harus bersusah payah, menghabiskan banyak waktu dan materi, menghabiskan banyak tenaga dan pikiran, bahkan sampai kita harus berpisah dengan orangtua, dan sebagainya?

Di sinilah ujian penuntut atau orang yang berilmu dan memahami ilmu. Kemuliaan ilmu pada seseorang, bukan karena dia memiliki atau mengetahui banyak ilmu yang diturunkan Allah SwT. Sekali lagi bukan. Kemuliaan ilmu seseorang hanya bagi mereka yang konsisten beramal sesuai dengan ilmu yang dipahami. Bagi pelanggar, justru dihinakan oleh ilmunya sendiri.

Untuk itulah pepatah Arab mengatakan bahwa, “Ilmu tanpa amal bagai pohon tak berbuah.” Artinya apa? Perumpamaan betapa tidak enak ketika menanam pohon yang diharap, ternyata tidak berbuah. Pohon yang kita sayangi dan cintai itu, sekedar memberi harapan, sedangkan buahnya nihil.

Ilmu dan amal ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisah satu sama lain. Syiakh Abdurrahman ibn Qasim ra mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan seperti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.”

Di dalam Hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama nyala api neraka.

Hal ini bukan berlaku bagi para ulama saja, akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama, maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian, atau khutbah Jum’at yang didalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram, maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari terlalu banyak contoh yang mewakili contoh pohon yang tidak menghasilkan buah. Ini dapat terjadi pada guru, pejabat, petani, nelayan, ulama, pedagang, dan siapa saja. Minimal, jika seseorang tidak melaksanakan ilmunya, jenis ilmu apapun yang semestinya mampu meninggikan derajat seseorang sebagaimana titah Allah SwT, maka ia mirip dengan pohon yang tidak berbuah.

Aduhai sungguh rugi dan rugi mempunyai pohon jenis ini. Selain itu, kehinaan dan caci makilah yang diraihnya. Itu karena ilmu yang maslahat pasti disetujui semua orang. Ketika seseorang melanggar ilmu, langsung terdeteksi oleh si pelanggarnya sendiri, pada tahap awal. Tahap selanjutnya pasti berimbas kepada orang lain. Seorang guru yang tidak mengamalkan ilmunya yang telah diterangkan kepada siswanya, pasti dalam jiwanya terdapat kesadaran pengkhianatan.

Demi menghindari pohon yang tak berbuah, maka seseorang harus tegak dengan ilmunya, tegak dengan kebenaran dan kejujuran yang menjadi ruh kehidupan. Jangan pernah membayangkan meraih prestasi yang memuliakan, jika kita sendiri melanggar ilmu-ilmu yang selama ini kita ketahui. Hanya orang yang mengamalkan ilmulah nanti akan diberi ilmu lain. Sebaliknya, pelanggar ilmu membuahkan kehinaan, cemoohan, dan caci maki. Oleh karena itu, semoga kita dilindungi Allah SwT dari sifat berkhianat dalam ilmu.

 

[islamaktual/sm/m.h.bashori]

BySatria

Ilmu Kehidupan Manusia Menurut Islam

Ilmu Kehidupan Manusia Menurut Islam – Ada apa dibalik kesulitannya kita menemui orang yang beneran jujur, kenapa perceraian meningkat, kenapa kejahatan hampir saban hari ada, kenapa jumlah kuantitas dijadikan tolak ukur, kenapa sedikit kita yang beneran hidupnya untuk Allah SWT dibandingin urusan kita dan kepentingan umat, kenapa bukan para Nabi dan sahabat yang diteladani tetapi para tokoh yang tidak lepas dari salah, kenapa jarang orang yang menyerukan ibadah kepada Allah SWT dengan seluruh perintah-Nya tapi kebanyakan cuma sebagian, apa motifnya?, kenapa masjid sepi sedangkan ramai orang berlebihan ditempat hiburan dan perbelanjaan yang bukan sekedar belanja lagi tetapi demi memuaskan keinginannya, semakin sulit orang yang beneran cinta Umat Rosulullah SAW, Mungkin juga semakin sulit mereka yang gak nerima suap, gak korupsi – ini dinegara benua lain maksudnya.552b6c326ea834d1478b4567

Fenomena ini adalah kehidupan dalam patokannya dengan ukuran Quran dan Sunnah, Perintah Allah dan pelanggarannya baik yang sistemik, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, individu, keluarga, dan opini umum hingga kepada sistem keduniaan, mungkin kebanyakan kita kikir, kebanyakan kita riya yang gak disadari, atau masih terbuai kata “Jumlah” dan mengikuti kecenderungan kebanyakan orang, kajian ini sekaligus untuk mendorong kita agar bersama introspeksi diri semoga karena Allah SWT kajian ini diberkahi-Nya, Amin. Mari disimakin agar jelas ilmu kehidupannya agar dapat difahami. Bismillah kita mulai kaji sbb :

Kebenaran adalah kebenaran walaupun bersendirian. Kesalahan adalah kesalahan walaupun didukung banyak orang. Bahkan Allah menyatakan bahwa keadaan umum manusia adalah berada dalam kesesatan, kejahilan dan jauh dari iman yang benar:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (QS. Al An’am: 116)

Bahkan ada Nabi Allah yang tidak memiliki pengikut, ada yang hanya satu orang, ada pula yang hanya sekelompok orang. Inilah patokan kebenaran sesuai realitas sunatullah. Andai yang sedikit itu pasti sesat, apakah mereka tidak memiliki pengikut atau menjadi minoritas karena mengajarkan kesesatan? Rosulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حدثنا ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “عرضت عليّ الأمم، فرأيت النبي ومعه الرهط، والنبي ومعه الرجل والرجلان، والنبي وليس معه أحد

“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda bahwa Islam itu awalnya asing, dan akan kembali menjadi asing kelak. Dan beliau memuji orang-orang yang masih mengamalkan ajaran Islam ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا. فطوبى للغرباء

“Islam pada awalnya asing dan akan kembali asing kelak sebagaimana awalnya. Maka pohon tuba di surga bagi orang-orang yang asing” (HR. Muslim no.145)

Nah, apakah Islam itu asing ketika mayoritas manusia mengamalkan ajaran Islam? Bahkan yang minoritas ketika itu adalah yang dipuji oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah (wafat 187 H) berkata:

لا تستوحِشْ طُرُقَ الهدى لقلة أهلها، ولا تغترَّ بكثرةِ الهالكين

“Janganlah engkau mengangap buruk jalan-jalan kebenaran karena sedikit orang yang menjalaninya. Dan jangan pula terpedaya oleh banyaknya orang-orang yang binasa” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163)

Imam An Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata:

ولا يغتر الإنسانُ بكثرةِ الفاعلين لهذا الذي نُهينا عنه ممَّن لا يراعي هذه الآدابَ

“Seorang manusia hendaknya tidak terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukan hal-hal terlarang, yaitu orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163)

Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, menafsirkan istilah Al Jama’ah:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri”

Dalam riwayat lain:

وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى

“Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala” (Dinukil dari Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)

Al Munawi (wafat 1031H) menukil perkataan Syihabuddin Abu Syaamah (wafat 665H) dan Al Baihaqi (wafat 458H) mengenai makna Al Jama’ah:

قال أبو شامة: حيث جاء الأمر بلزوم الجماعة فالمراد به لزوم الحق وإتباعه وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف كثيرا أي الحق هو ما كان عليه الصحابة الأول من الصحب ولا نظر لكثرة أهل الباطل بعدهم قال البيهقي: إذا فسدت الجماعة فعليك بما كانوا عليه من قبل وإن كنت وحدك فإنك أنت الجماعة حينئذ

“Abu Syamah berkata, ketika dalam hadits terdapat perintah berpegang pada Al Jama’ah, yang dimaksud dengan berpegang pada Al Jama’ah adalah berpegang pada kebenaran dan menjadi pengikut kebenaran walaupun ketika itu hanya sedikit jumlahnya dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran banyak jumlahnya. Maksud Abu Syaamah adalah bahwa kebenaran itu adalah mengikuti pemahaman para sahabat Nabi, bukan melihat banyak jumlah, ini pada orang-orang yang datang setelah mereka. Al Baihaqi berkata, ketika Al Jama’ah (baca: kaum muslimin saat ini) telah bobrok maka hendaknya engkau berpegang pada pemahaman orang terdahulu (para Salaf) walaupun engkau sendirian, maka ketika itu engkaulah Al Jama’ah” (Faidul Qadhir, 4/99)

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ

“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

Oleh karena itu ‘kebanyakan orang’ secara mutlak bukanlah as sawaadul a’zham, sehingga tidak benarlah orang-orang yang hanya ikut ‘kebanyakan orang’ dalam beragama. Bagaimana halnya jika prinsip demikian diterapkan di masyarakat yang bobrok, mayoritasnya meninggalkan shalat misalnya. Apakah meninggalkan shalat menjadi hal yang biasa dan dibenarkan? Jika masyarakatnya gemar berzina, bagaimana mungkin ahluz zina itu disebut as sawadul a’zham yang merupakan ahlul haq?

Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan as sawadul a’zham atau menjadikan kita orang-orang yang berpegang teguh kepadanya…Amiin yarobbal alamin.

 

sumber  =(http://www.facebook.com/pages/MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA/203914683789 )